“Mengasihi Sungguh?”

“Mengasihi Sungguh?”

MINGGU BIASA VII

“Mengasihi sungguh?”

(1Sam. 26:2,7-9,12-13,22-23; 1Kor.15:45-49; Luk. 6:27-38)

Mengasihi musuh ‘tampil’ sebagai tema dalam perikop untuk Minggu Biasa ketujuh, tahun ini. Dan, merupakan kelanjutan dari kotbah tentang “berbahagilah dan celakalah” untuk minggu lalu. Kali ini, kita mendengar dan sekaligus diajak untuk ‘berbuat baik kepada orang yang membenci’, ‘meminta berkat bagi orang yang mengutuk kita’, ‘mendoakan orang yang mencaci’, ‘jika ditampar pipi yang satu, berikan pipi yang satu lagi’, ‘jika diambil jubah kita, biarkan juga dia mengambil baju’, dan ‘berikan apa yang diminta orang lain tanpa mengharap kembali’. Enam situasi yang tidak satu pun mengenakkan! Namun, kita harus berbuat sesuatu yang bersifat mengasihi? Adakah orang atau manusia sebaik itu? Jangankan keenam hal itu, satu pun rasanya sangatlah berat! Jika harus mengikuti ajaran-Nya, sebagai umat katolik, apa yang selayaknya dilakukan? Atau, bagaimana mencoba memahami pengajaran ini?

Dalam sebuah kursus, salah seorang pengajar pernah mengatakan: “Dalam usaha untuk memahami ayat-ayat yang ‘sulit’, dibutuhkan bantuan seorang ahli. Untuk kali ini, kita mencoba belajar dari apa yang diuraikan oleh Rm. A. Gianto, SJ, seorang mahaguru yang sehari-hari mengajar di Pontificum Institutum Biblicum, Roma. Menurut beliau, bila kasus ‘menampar pipi’ dipahami sebagai kasus kekerasan pada umumnya, maka hal ini bisa memberikan pemikiran lain. Karena apa? Orang yang menjalankan kekerasan sering bukan orang yang merdeka. Mereka melakukannya bagi mempertahankan kekuasaan, kedudukan, perasaan lebih atas, ideologi. Atau, juga kebalikannya, memiliki perasaan ditindas. Orang- orang yang menjalankan kekerasan, umumnya terbelit kekerasan yang melembaga. Inilah kenyataan dosa yang mengurung manusia.

Disebut berdosa karena terlilit kekerasan yang melembaga ini, dan tidak berusaha untuk keluar, serta mungkin tidak didorong untuk berani keluar(dari kekerasan). Padahal, orang dapat memilih untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan. Dan, dengan demikian, belajar untuk tidak melanggengkan kekerasan.(Dag-Dig-Dug …Byaar!, Kumpulan Ulasan Injil, Kanisius, 2004). Dalam sudut pandang inilah kita dapat memahami pengajaran-Nya dengan lebih lapang-dada.

Contoh nyata dari tidak ‘melestarikan’ kekerasan tertulis dalam Bacaan pertama. Daud yang mendapat kesempatan untuk ‘menghabisi’ raja Saul, tapi tidak melakukannya. Bahkan Ketika Abisai bersedia untuk menjadi eksekutor, sehingga tangan Daud bersih. Namun, apa kata Daud?, “sebab, siapakah yang dapat menjamah orang yang diurapi TUHAN, dan bebas dari hukuman?” Dan, mereka berdua menyelesaikan masalah itu dengan cara yang penuh kasih. Dengan kata lain, jika kita ‘melibatkan’ Tuhan dan situasi yang pelik, niscaya kekerasan yang melekat bisa dihindari.

Inspirasi apa yang dapat kita petik dari Injil suci untuk Minggu ini? Yesus memberikan sebuah inspirasi, yang sering juga disebut ‘ayat emas’: “Sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.” Sabda ini dikuti dengan penjelasan rincinya(ay. 32-35). Inspirasi lainnya, “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.”

Akhirnya, pengajaran ditutup dengan sebuah himbaun penuh kasih, “Janganlah kamu menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi.”

Selamat merayakan Ekaristi dengan penuh kasih, selamat melantunkan:

“Tuhan itu pengasih dan penyayang.” (Mzm. 103:8a)